Fobia

Sabtu, 19 Desember 2009

Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoa atau tikus. Sementara dibayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.

Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrim seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari jenis jenis hambatan sukses lainnya.
Beberapa istilah sehubungan dengan fobia :
  • afrophobia — ketakutan akan orang Afrika atau budaya Afrika.
  • agoraphobia - takut pada lapangan
  • antlophobia — takut akan banjir.
  • bibliophobia - takut pada buku
  • caucasophobia — ketakutan akan orang dari ras kaukasus
  • cenophobia — takut akan ruangan yang kosong.
  • dendrophobia - takut pada pohon
  • ecclesophobia - takut pada gereja
  • felinophobia - takut akan kucing
  • genuphobia - takut akan lutut
  • hydrophobia — ketakutan akan air.
  • hyperphobia - takut akan ketinggian
  • iatrophobia - takut akan dokter
  • japanophobia - ketakutan akan orang jepang
  • lyghopobia - ketakutan akan kegelapan
  • necrophobia - takut akan kematian
  • panophobia - takut akan segalanya
  • photophobia — ketakutan akan cahaya.
  • rhanidaphobia - takut pada katak
  • schlionophobia - takut pada sekolah
  • uranophobia - ketakutan akan surga
  • venustraphobia - takut pada perempuan yang cantik
  • xanthophobia - ketakutan pada warna kuning

Autisme

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karateristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
  • interaksi sosial,
  • komunikasi (bahasa dan bicara), 
  • perilaku emosi
  • pola bermain
  • gangguan sensorik dan motorik
  • perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Data Statistical Manual R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
  1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
  2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
  4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):
  1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
  2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
  3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
  4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
  1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
  2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
  3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
  4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
  1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
  2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
  3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebagainya.

Gejala

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi
sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frommbone: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
  • Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
  • Chromosome 7 – speech / language chromosome
  • Variety of problem in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model, psikodinamika menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovass, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
  • Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
  • Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
  • Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
  • Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
  • 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
  • 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
  • 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
  • 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
  • 2000s Litigation, school-based services

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Insomnia

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun.
Insomnia sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit atau akibat adanya permasalahan psikologis. Dalam hal ini, bantuan medis atau psikologis akan diperlukan. Salah satu terapi psikologis yang efektif menangani insomnia adalah terapi kognitif. Dalam terapi tersebut, seorang pasien diajari untuk memperbaiki kebiasaan tidur dan menghilangkan asumsi yang kontra-produktif mengenai tidur.
Banyak penderita insomnia tergantung pada obat tidur dan zat penenang lainnya untuk bisa beristirahat. Semua obat sedatif memiliki potensi untuk menyebabkan ketergantungan psikologis berupa anggapan bahwa mereka tidak dapat tidur tanpa obat tersebut.

Diagnosa

Spesialis tidur kedokteran memenuhi syarat untuk mendiagnosis berbagai gangguan tidur. Pasien dengan berbagai penyakit termasuk sindrom fase tidur tertunda sering salah didiagnosis sebagai Insomnia.

Durasi Tidur dan Kematian



Potensi komplikasi pada Insomania.
Sebuah survei dari 1,1 juta penduduk di Amerika yang dilakukan oleh American Cancer Society menemukan bahwa mereka yang dilaporkan tidur sekitar 7 jam setiap malam memiliki tingkat kematian terendah, sedangkan orang-orang yang tidur kurang dari 6 jam atau lebih dari 8 jam lebih tinggi tingkat kematiannya. Tidur selama 8,5 jam atau lebih setiap malam dapat meningkatkan angka kematian sebesar 15%. Insomnia kronis - tidur kurang dari 3,5 jam (wanita) dan 4,5 jam (laki-laki) juga dapat menyebabkan kenaikan sebesar 15% tingkat kematian. Setelah mengontrol durasi tidur dan insomnia, penggunaan pil tidur juga berkaitan dengan peningkatan angka kematian.


Minggu, 01 November 2009

  • Persepsi Realitis
Orang-orang yang sehat memandang dunia mereka secara obyektif. Orang-orang yang sehat tidak perlu percaya bahwa orang-orang lain atau situasi-situasi semuanya jahat atau semuanya baik menurut suatu prasangka pribadi terhadap realitas.

  • Ketrampilan-ketrampilan dan Tugas-Tugas
Allport menekankan pentingnya pekerjaan dan perlunya menenggelamkan diri sendiri di dalamnya. Allport mengemukakan bahwa ada kemungkinan orang-orang yang memiliki ketrampilan-ketrampilan menjadi neurotis.

  • Pemahaman diri
Kriterium ini terkandung dalam petunjuk lama "Kenallah dirimu". Kepribadian yang sehat mencapai suatu tingkat pemahaman diri yang lebih tinggi daripada orang-orang yang neurotis.
Orang yang memiliki suatu tingkat pemahaman diri (self-objectification) yang tinggi atau wawasan diri tidak mungkin memproyeksikan kualitas-kualitas pribadinya yang negatif kepada orang-orang lain. Allport juga mengemukakan bahwa orang yang memiliki wawasan diri yang lebih baik adalah lebih cerdas daripada orang yang memiliki wawasan diri yang kurang.

  • Filsafat Hidup yang Mempersatukan
Allport menyebut dorongan yang mempersatukan ini "arah" (direct-ness), dan lebih kelihatan pada kepribadian-kepribadian yang sehat daripada orang-orang neurotis. Allport rupanya mustahil memiliki suatu kepribadian yang sehat tanpa aspirasi-aspirasi dan arah ke masa depan. Allport menekankan bahwa nilai-nilai (bersama dengan tujuan-tujuan) adalah sangat penting bagi perkembangan suatu filsafat hidup yang mempersatukan.


4. Perkembangan "DIRI"
Dalam masa kecil, anak mulai membedakan, atau memisahkan salah satu segi pengalamannya dari semua yang lain-lainnya. Anak itu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang menjadi milik atau bagian dari dirinya dan semua benda lain yang dilihat, didengar, diraba, dan diciumnya ketika dia mulai membentuk suatu lukisan dan gambaran tentang siapa dia. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu "pengertian diri" (self-concept).
Sebagai bagian dari self-concept, anak itu juga menggambarkan dia akan menjadi siapa atau mungkin ingin menjadi siapa.
Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak tergantung pada cinta yang diterima anak itu dalam masa kecil. Pada waktu diri itu mulai berkembang, anak itu juga belajar membutuhkan cinta. Rogers menyebut kebutuhan ini "penghargaan positif" (positive regard).
Positive regard, suatu kebutuhan yang memaksa dan merembes, dimiliki semua manusia; setiap anak terdorong untuk mencari positive regard. Apakah anank itu kemudian akan tumbuh menjadi suatu kepribadian yang sehat tergantung pada sejauh manakah kebutuhan akan positive regard ini dipuaskan dengan baik.
Self-concept yang berkembang dari anank itu sangat dipengaruhi oleh ibu. Dalam hal ini, anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang-orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Anank dalam situasi mengembangkan apa yang disebut Rogers "penghargaan positif bersyarat" (conditional positive regard). Kasih sayang dan cinta yang diterima anak adalah syarat terhadap tingkah lakunya yang baik. Karena anak mengembangkan conditional positive regard maka dia menginternalisasikan sikap-sikap ibu. Jika itu terjadi, maka sikap ibu diambil alih oleh anak itu dan diterapkan kepada dirinya.
Syarat utama bagi timbulnya kepribadian sehat adalah penerimaan "penghargaan positif tanpa syarat" (unconditional positive regard) pada masa kecil.
Unconditional positive regard tidak mengkehendaki bahwa semua pengekangan terhadap tingkah laku anak tidak ada; tidak berarti bahwa anak diperbolehkan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa dinasihati. Anak-anak yang bertumbuh dengan perasaan unconditional positive regard tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan.Orang ini adalah bebas untuk menjadi orang yang mengaktualisasikan-diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dan segera setelah proses aktualisasi-diri mulai berlangsung, orang itu dapat maju ke tujuan terakhir, yakni menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya.


5. Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak tergantung pada cinta yang diterima anak itu dalam masa kecil. Pada waktu diri itu mulai berkembang, anak itu juga belajar membutuhkan cinta. Rogers menyebut kebutuhan ini "penghargaan positif" (positive regard).
Positive regard, suatu kebutuhan yang memaksa dan merembes, dimiliki semua manusia; setiap anak terdorong untuk mencari positive regard. Apakah anank itu kemudian akan tumbuh menjadi suatu kepribadian yang sehat tergantung pada sejauh manakah kebutuhan akan positive regard ini dipuaskan dengan baik.
Self-concept yang berkembang dari anank itu sangat dipengaruhi oleh ibu. Dalam hal ini, anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang-orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Anank dalam situasi mengembangkan apa yang disebut Rogers "penghargaan positif bersyarat" (conditional positive regard). Kasih sayang dan cinta yang diterima anak adalah syarat terhadap tingkah lakunya yang baik. Karena anak mengembangkan conditional positive regard maka dia menginternalisasikan sikap-sikap ibu. Jika itu terjadi, maka sikap ibu diambil alih oleh anak itu dan diterapkan kepada dirinya.
Syarat utama bagi timbulnya kepribadian sehat adalah penerimaan "penghargaan positif tanpa syarat" (unconditional positive regard) pada masa kecil.
Unconditional positive regard tidak mengkehendaki bahwa semua pengekangan terhadap tingkah laku anak tidak ada; tidak berarti bahwa anak diperbolehkan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa dinasihati. Anak-anak yang bertumbuh dengan perasaan unconditional positive regard tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan.Orang ini adalah bebas untuk menjadi orang yang mengaktualisasikan-diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dan segera setelah proses aktualisasi-diri mulai berlangsung, orang itu dapat maju ke tujuan terakhir, yakni menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya.




6.
  • Keterbukaan pada pengalaman
Seseorang yang tidak terhambat oleh syarat-syarat penghargaan, bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap. Tak satu pun yang harus dilawan karena tak satu pun yang mengancam. Jadi, keternukaan pada pengalaman adalah lawan dari sikap defensif. Setiap pendirian dan perasaan yang berasal dari dalam dan dari luar disampaikan ke sistem syaraf organisme tanpa distorsi rintangan.Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih "emosional dalam pengertian bahwa dia mengalami banyak emosi yang bersifat positif dan negatif (misalnya, baik kegembiraan maupun kesusahan) dan mengalami emosi-emosi itu lebih kuat daripada orang yang defensif.

  • Kehidupan Eksistensial
Orang yang berfungsi sepenuhnya, hidup sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan. Karena orang yang sehat terbuka kepada semua pengalaman, maka diri atau kepribadian terus-menerus dipengaruhi atau disegarkan oleh setiap pengalaman.
Orang yang berfungsi sepenuhnya yang tidak memiliki diri yang berprasangka atau tegar tidak harus mengontrol atau memanipulasi pengalaman-pengalaman, sehingga dengan bebas dapat berpartisipasi didalamnya. Jelas, orang yang berfungsi sepenuhnya dapat menyesuaikan diri karena struktur-diri terus menerus terbuka kepada pengalamn-pengalaman baru. Rogers percaya bahwa kualitas dari kehidupan eksistensial ini merupakan segi yang sangat esensial dari kepribadian yang sehat. Kepribadian terbuka kepada segala sesuatu yang terjadi pada momen itu dan dia menemukan dalam setiap pengalaman suatu struktur yang dapat berubah dengan mudah sebagai respons atas pengalaman momen yang berikutnya.

  • Kepercayaan Terhadap Organisme Orang Sendiri
Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat bertindak menurut impuls-impuls yang timbul seketika dan intuitif. Dalam tingkah laku yang demikan itu terdapat banyak spontanitas dan kebebasan, tetapi tidak sama dengan bertindak terburu-buru atau sama sekali tidak memperhatikan konsekuensi-konsekuensinya.
Karena orang yang sehat terbuka sepenuhnya pada pengalaman, maka dia memiliki jalan masuk untuk seluruh informasi yang ada dalam suatu situasi membuat keputusan.
Rogers membandingkan kepribadian yang sehat dengan sebuah komputer eletronik di mana semua data yang relevan telah diprogramkan kedalamnya. Komputer itu mempertimbangkan semua segi masalah, semua pilihan dan pengaruh-pengaruhnya, dan dengan cepat menentukan tindakan.

  • Perasaan Bebas
Rogers percaya bahwa semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin juga ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang berfungsi sepenuhnya memilki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan, atau peritiwa-peristiwa masa lampau. Karena merasa bebas dan berkuasa ini maka orang yang sehat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin dilakukannya.

  • Kreativitas
Semua orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Orang-orang yang terbuka sepenuhnya kepada semua pengalaman, yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan serta tindakan mereka ialah orang-orang sebagaimana dikemukakan Rogers - yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif dalam semua bidang kehidupan mereka. Mereka bertingkah laku spontan, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka-ragam sekitar mereka.
Rogers percaya bahwa orang-orang yang berfungsi sepenuhnya lebih mampu menyesuaikan diri dan bertahan terhadap perubahan-perubahan yang drastis dalam kondisi-kondisi lingkungan. Mereka memiliki kreativitas dan spontanitas untuk menanggulangi perubahan-perubahan traumatis sekalipun, seperti dalam pertempuran atau bencana-bancana alamiah. Jadi, Rogers melihat orang-orang yang berfungsi sepenuhnya merupakan "barisan depan yang layak" dalam proses evolusi manusia.

Pendapat allport membahas manusia, perkembangan proprium sbg dasar perkembangan kepribadian, ciri-ciri kepribadian yang matang menurut allport, perkembangan kepribadian menurut rogers, peranan positif regards, ciri-ciri orang yang berfungsi sepenuhnya.

 SOAL  

1. Jelaskan pendapat allport, dalam membahas manusia?
2. Jelaskan perkembangan proprium sebagai dasar perkembangan kepribadian yang sehat?
3. Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri kepribadian yang matang menurut allport?
4. Jelaskan perkembangan kepribadian self menutur rogers?
5. Peranan positif regards dalam kepribadian individu menurut rogers?
6. Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri orang yang berfungsi sepenuhnya?





JAWABAN

1.  Allport lebih optimistis tentang kodart manusia daripada freud, dan ia memperlihatkan suatu keharuan yang luar biasa terhadap manusia, sifat-sifatnya yang tampaknya bersumber pada masa kanak-kanaknya. Seperti dikemukakan, pandangan-pandangan freud dan gambaran kodrat manusia yang di utarakan allport adalah positif, penuh harapan, dan menyanjung-nyanjung. Allport percaya bahwa kekuatan-kekuatan tak sadar itu merupakan pengaruh-pengaruh yang penting pada tingkah laku orang-orang dewasa yang neurotis. Akan tetapi individu-individu yang sehat yang berfungsi pada tingkat rasional dan sadar, menyadari sepenuhnya kekuatan-kekuatan yang membimbing mereka dan dapat mengontrol kekuatan-kekuatan itu juga. Allport percaya bahwa sama sekali tidak ada kesamaan-kesamaan fungsional antara orang yang neurotis dan orang yang sehat. Karena itu daripada menempatkan suatu rangkaian kesatuan (continuum) antara neurosis dan kesehatan emosional, Allport mengemukakan suatu jurang atau dikotomi di antara kedua nya dan salah satu di antara tipe-tipe kepribadian itu tidak memperlihatkan salah satu di antara sifat-sifat dari yang lainnya. Dalam pandangan Allport, orang yang neurotis beroperasi dalam genggaman konflik-konflik dan pengalaman-pengalaman kanak-kanak dan kepribadian yang sehat berfungsi pada suatu taraf yang berbeda dan lebih tinggi. Karena Allport mengetahui perbedaan-perbedaan antara manusia yang neurotis dan manusia yang sehati ini, maka dia lebih suka mempelajari hanya orang-orang dewasa yang matang (berlawanan dengan freud dan orang-orang lain yang mempelajarinyahanya orang-orang neurotis) dan hanya sedikit saja berbicara mengenai orang-orang yang neurotis. Karena itu kita dapat berkata bahwa sistem dari Allport hanya berorientasi pada kesehatan.


2. Proprium itu berkembang dari masa bayi sampai masa adolesensi melalui tujuh tingkat "diri". Apabila semua segi perkembangan telah muncul sepenuhnya, maka segi-segi tersebut dipersatukan dalam satu konsep proprium. Jadi, proprium adalah susunan dari tujuh tingkat "diri" ini.
"Diri" jasmaniah. Kita tidak dilahirkan dengan suatu perasaan tentang diri ; perasaan tentang diri bukan merupakan bagian dari warisan keturunan kita. Bayi tidak dapat membedakan antara diri ("saya") dan dunia sekitarnya. Berangsur-angsur, dengan makin bertambahnya kompleksnya belajar dan pengalaman-pengalaman perseptual, maka berkembanglah suatu perbedaan yang kabur antara sesuatu yang ada "dalam saya" dan hal-hal lain "di luar-nya". Ketika bayi menyentuh, melihat, mendengar dirinya, orang-orang lain, dan benda-benda, perbedaan itu menjadi lebih jelas. Kira-kira pada usia 15 bulan, maka muncullah tingkat pertama perkembangan proprium diri jasmaniah.
Kesadaran akan "saya jasmaniah". Allport menyebutnya "jangkar abadi untuk kesadaran diri kita", meskipun masih jauh dari menjadi seluruh diri orang itu.
Identitas-diri. Pada tingkat kedua perkembangan, muncullah perasaan identitas-diri.
Allport berpendapat bahwa segi yang sangat penting dalam identitas-diri asalah nama orang. Nama itu menjadi lambang dari kehidupan seseorang yang mnegenal dirinya dan membedakannya dari semua diri yang lain di dunia.
Harga-diri. Tingkat ketiga dalam perkembangan proprium ialah timbulnya harga diri. Pada tingkat ini, anak ingin membuat benda-benda, menyelidiki dan memuaskan perasaan ingin tahunya tentang lingkungan, memanipulasi dan mengubah lingkungan itu.
Allport percaya bahwa hal ini merupakan suatu tingkat perkembangan yang menetukan ; apabila orang tua menghalangi kebutuhan anak untuk menyelidiki maka perasaan harga diri yang timbul dapat dirusakkan. Akibatnya dapat timbul perasaan hina dan marah.
Inti dari munculnya harga diri ialah kebutuhan anak akan otonomi.
Perluasan diri (self extension). Tingkat perkembangan diri berikutnya, perluasan diri, mulai sekitar usia 4 tahun. Anak sudah mulai menyadari orang-orang lain dan benda-benda dalam lingkungannya dan fakta bahwa beberapa di antaranya adalah milik anak tersebut.
Gambaran diri. Hal ini menunjukkan bagaimana anak melihat dirinya dan pendapatnya tentang dirinya. Gambaran ini (atau rangkaian gambaran-gambaran) berkembang dari interaksi-interaksi antara orang tua dan anak.
Diri sebagai Pelaku Rasional. Setelah anak mulai sekolah, diri sebagai pelaku rasional mulai timbul. Aturan - Aturan dan harapan baru dipelajari dari guru-guru dan teman-teman sekolah serta hal yang lebih penting ialah diberikannya aktivitas dan tantangan intelektual.
Tujuh tingkat dari atau proprium ini berkembang dari masa bayi sampai masa adolesensi. Suatu kegagalan atau kekecewaan yang hebat pada setiap tingkat melumpuhkan penampilan tingkat-tingkat berikutnya serta menghambat integrasi harmonis dari tingkat itu dalam proprium.


3.
  • Perluasan Perasaan Diri
Allport menanamkan hal ini "partisipasi otentik yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia". Orang harus meluaskan diri ke dalam aktivitas. Dalam pandangan Allport, suatu aktivitas harus relevan dan penting bagi diri; harus berarti sesuatu bagi orang itu. Aktivitas itu lebih berarti bagi anda dari pada pendapatan yang diperoleh; aktivitas itu memuaskan kebutuhan-kebutuhan lain juga. Semakin seseorang terlibat sepenuhnya dengan berbagai aktifitas atau orang atau ide, maka semakin juga dia akan sehat secara psikologis. Diri menjadi tertanam dalam aktifitas-aktifitas yang penuh arti ini dan aktivitas ini menjadi perluasan perasaan diri.

  • Hubungan Diri yang Hangat dengan Orang-Orang lain
Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang-orang lain: kapasitas untuk keintiman dan kapasitas untuk perasaan terharu. Perasaan terharu, tipe kehangatan yang kedua adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Orang yang sehat memiliki kapasitas untuk memahami kesakitan-kesakitan, penderitaan-penderitaan, ketakutan-ketakutan, dan kegagalan-kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia.

  • Keamanan Emosional
Sifat dari kepribadian yang sehat ini meliputi beberapa kualitas; kualitas utama adalah penerimaan diri. Kepribadian-kepribadian yang sehat juga mampu menerima emosi-emosi manusia. Kepribadian-kepribadian yang sehat mengontrol emosi-emosi mereka, sehingga emosi-emosi ini tidak menganggu aktivitas-aktivitas antarpribadi. Kualitas lain dari keamanan emosional ialah apa yang disebut Allport "sabar terhadap kekecewaan".


-PutrieMuttz- Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino