Cara mengatasi shopaholic ...

Senin, 28 Desember 2009

9 Tips Mengerem Hasrat Si Shopaholic












Anda merasa kecemasan akan suatu hal dan masalah bisa terselesaikan bila sudah berbelanja? Atau, Anda tak pernah menolak tawaran banjir diskon yang sedang diadakan sebuah toko, lalu menyesal karena membeli barang yang sebenarnya tak Anda butuhkan?
Bila ya, berhati-hatilah! Meski bukan penyakit, gampang berbelanja dan mudah “luluh” oleh godaan diskon, juga sikap yang perlu diwaspadai. Sebab, selain barang yang dibeli terkadang jadi percuma karena tak sesuai kebutuhan, pengeluaran pun akan membengkak. Menurut Dra. Clara Kriswanto, MA, CPBC, psikolog dan konsultan keluarga dari Jagadnita Consulting, munculnya sikap ini antara lain karena kepercayaan diri yang kurang. “Biasanya, ini berkaitan dengan masalah perasaan tak dihargai, kepercayaan diri yang kurang, atau merasa dirinya kurang berarti bagi pasangan, anak, atau orang lain. Dia merasa baru akan dihargai dan “dilihat” jika banyak berbelanja,”
Agar dompet tetap “aman” dan pasangan tak melotot melihat banyaknya belanjaan Anda, simak tips berikut ini:
1. Carilah teman belanja yang hemat, bukan yang hobi “mengompori” Anda. Hindari sering berbelanja beramai-ramai. Godaan untuk berbelanja lebih banyak datang pada kondisi ini. Melihat teman-teman mencoba sepatu atau baju akan membuat Anda mudah tergiur. Bila memungkinkan, berbelanjalah sendirian saja.
2. Jangan menjadikan acara ke mal sebagai cara untuk menyegarkan pikiran (refreshing). Jika ini yang terjadi, Anda akan sering mendatangi tempat itu saat pikiran ruwet. Akibatnya, Anda akan memaklumi diri sendiri saat membeli sebuah barang. Berbelanjalah saat Anda memang butuh membeli sesuatu. Faktor rekreasi hanya ditempatkan sebagai kegiatan sampingan, bukan acara utama.
3. Cari cara berekreasi yang lain, misalnya ke museum, perpustakaan, atau sekadar menghabiskan waktu di rumah bersama pasangan, memasak bersama atau sambil menikmati hidangan kue dan minum teh hangat di depan teve.
4. Sebelum berencana membeli baju, buka dulu lemari Anda. Periksa apakah Anda memang benar-benar tak memiliki baju yang ingin dibeli. Kreatiflah memadu-padankan busana, sehingga tak perlu sering beli baju. Kebanyakan perempuan merasa perlu membelinya karena merasa tak punya baju untuk menghadiri acara tertentu. Sebetulnya dia punya, tapi malu bila memakai baju yang sama lebih dari dua kali.
5. Buat dan bawa catatan yang berisi barang-barang yang akan dibeli. Berdisiplinlah dengan hanya membeli barang yang tertera dalam daftar, agar acara berbelanja jadi terfokus. Beli barang sesuai kemampuan dan kebutuhan. Membeli sesuatu yang harganya mahal, bermerek, dan dalam jumlah banyak tak masalah, asal Anda memang mampu dan butuh. Belilah barang yang memang Anda sukai, penting, dan bermanfaat.
6. Gunakan kartu kredit, kartu diskon, dan uang tunai dalam dompet secara bijak. Meski punya banyak kartu kredit, Anda akan tetap merasa “aman” dari utang. Bila perlu, simpan kartu-kartu itu di rumah, dan bawa uang tunai seperlunya saat ke mal. Hindari berutang, baik pada teman, keluarga, atau kartu kredit hanya demi memuaskan nafsu belanja. Berutang pada teman bukan hanya membuat Anda harus menyisihkan uang untuk melunasinya, tapi juga bisa merusak hubungan pertemanan.
7. Disiplin merencanakan keuangan keluarga. Jujur dan terbukalah pada pasangan mengenai kondisi keuangan masing-masing. Meski Anda memiliki gaji sendiri, diskusikan dengan baik bagaimana cara dan uang siapa yang akan digunakan untuk berbagai kebutuhan. Lakukan berdasarkan kesepakatan bersama pasangan, agar kelak tak muncul konflik.
8. Ingat selalu rencana besar yang sedang Anda usahakan agar terwujud, antara lain biaya keperluan sekolah anak atau uang yang harus disisihkan untuk ditabung. Cara ini akan membuat Anda lebih mengerem hasrat berbelanja.
9. Stop terus-menerus berbelanja atau melakukan berbagai perawatan ke salon, hanya agar diterima dan dicintai pasangan. Terima diri apa adanya. Percayalah, tak ada manusia sempurna. Kenali dan manfaatkan kemampuan serta sisi positif Anda. Dengan begitu, rasa percaya diri akan tumbuh dengan baik.

Shopaholic

Shopaholic, Antara Keinginan-Kebutuhan 

Shopaholic, Antara Keinginan-Kebutuhan, GILA BELANJA: Seorang wanita shopaholic (gila belanja) duduk di antara tumpukan belanjaannya.// net 
GILA BELANJA: Seorang wanita shopaholic (gila belanja) duduk di antara tumpukan belanjaannya.// net
Shopaholic adalah kata yang berasal dari shop yang berarti belanja, dan aholic yang menandakan bahwa kebiasaan ini adalah suatu ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau tidak.
Jadi, shopaholic adalah sebutan umum dari setiap orang yang mempunyai kebiasaan belanja secara kontinu (terus menerus). Seorang shopaholic biasanya melakukan kebiasaan ini tanpa disadarinya. Dia akan mengaku suka dan pengkoleksi barang-barang yang sama, namun sebenarnya ini adalah gejala awal dari seorang pecandu belanja.
Meskipun para ahli mengatakan bahwa 90 persen dari shopaholic adalah wanita, tapi sebenarnya pria juga bisa ‘terjangkit’ penyakit ini. Sebagian besar dari lelaki tidak mau mengakui, tapi mereka berdalih kebiasaan berbelanja hanya sebagai hobi untuk dikoleksi. Misalnya, belanja telepon genggam, laptop, MP3 player, barang otomotif dan lainnya.
Bagi wanita yang kecanduan belanja, mereka menggunakan inisiatif melakukan kegiatan berbelanja untuk melupakan kesedihan atau menghilangkan rasa suntuk. Tapi, cara itu hanya penyembuhan jangka pendek dan justru makin membuat para perempuan tersebut tertekan. Apalagi berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, akan membuat wanita gila belanja semakin menumpukkan hutangnya.
Disebutkannya, ketergantungan akan belanja sama halnya seorang alcoholic yang dulunya mulai minum karena pengaruh sosial dan ajakan teman saja, tapi kemudian menjadi rutinitas dan kebiasaan yang akhirnya menimbulkan dampak buruk. Sudah bisa diduga gaya hidup sang pencandu mulai tidak terkontrol.

Rencanakan Pengeluaran

Menurut para periset, gila belanja adalah gangguan yang mendorong orang untuk membeli barang-barang yang tidak perlu. Gangguan ini bisa terjadi akibat stres, masalah keuangan atau masalah sosial. Gangguan gila belanja ini kebanyakan penderitanya adalah wanita.
Shopaholic biasanya digolongkan sebagai penyimpangan obsesif-kompulsif yang dapat disembuhkan dengan bantuan psikolog. Dengan kesabaran, ketekunan serta bantuan dari pihak profesional, seorang shopaholic dapat kembali mengendalikan hidupnya.
Bagi Anda yang taraf gila belanjanya belum terlalu parah, segeralah mengatur strategi untuk tidak terlanjur menjadi shopaholic.
Menurut Psikolog RSU Pirngadi Medan, Indah Kumala Hasibuan, ada beberapa cara untuk menghindari gila belanja. Caranya sangat sederhana, yaitu membuat perencanaan keuangan. Rencanakan pemasukan dan pengeluaran uang serta buat anggaran itu untuk diri sendiri.
“Tuliskan kapan Anda akan menerima pemasukan, dan apa saja pengeluaran-pengeluaran yang akan Anda lakukan dari pemasukan tersebut. Lalu tuliskan pos-posnya dan tuliskan jumlahnya. Hanya dengan cara seperti itu bisa mendeteksi apakah pengeluaran akan melebihi pemasukan atau tidak,”
Selain itu, sediakan waktu dalam satu minggu untuk menulis kategori tersebut menjadi sebuah daftar yang dapat memudahkan untuk belajar membedakannya.
Tujuan dari langkah ini untuk menghindari kebiasaan membeli barang tanpa sadar berdasarkan dengan daftar yang kita buat tadi.

Jerawat

Sabtu, 19 Desember 2009

Jerawat (bahasa Inggris: acne) adalah kondisi abnormal kulit akibat gangguan berlebihan produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang menyebabkan penyumbatan saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Daerah yang mudah terkena jerawat ialah di muka, dada, punggung dan tubuh bagian atas lengan.
Peradangan pada kulit terjadi jika kelenjar minyak memproduksi minyak kulit (sebum) secara berlebihan sehingga terjadi penyumbatan pada saluran kelenjar minyak dan pembentukan komedo (whiteheads) dan seborhoea. Apabila sumbatan membesar, komedo terbuka (blackheads) muncul sehingga terjadi interaksi dengan bakteri jerawat.
Jerawat digolongkan ringan bila bentuknya masih komedo dengan jumlah lesi kurang dari 30. Apabila jumlah lesi berkisar antara 30-125 maka dinamakan jerawat sedang (papule). Jerawat besar yang disebut nodul atau kista timbul bila lesi di atas 125.
Munculnya jerawat sering terjadi pada masa pubertas antara usia 14-19 tahun yang disebabkan oleh perubahan hormon pada remaja. Deteksi jerawat sejak dini sangat sulit sebab sebelum masa pubertas kulit anak akan mengalami pengelupasan tiga minggu sekali. Sedangkan ketika remaja, kulit mengelupas empat minggu sekali.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 85% populasi mengalami jerawat pada usia 12-25 tahun, 15% populasi mengalaminya hingga usia 25 tahun. Jika tidak teratasi dengan baik, gangguan jerawat dapat menetap hingga usia 40 tahun.
Selain menimbulkan bekas jerawat, efek utamanya adalah pada jiwa seseorang, seperti krisis percaya diri atau minder dan depresi.
Komponen konsep diri yang sering terganggu pada remaja dengan munculnya jerawat yaitu gambaran diri (body image) dan harga diri, dimana pada masa remaja fokus individu terhadap fisik lebih menonjol dari periode kehidupan lain. Bentuk tubuh merupakan bagian dari gambaran diri, pada remaja yang berjerawat mengakibatkan perubahan bentuk tubuh dari remaja tersebut yang akan berdampak pada interaksi atau hubungan sosial dilingkungan, dimana remaja menjadi minder dan merasa tidak percaya diri yang akan mengakibatkan rendahnya harga diri.
Tetapi tidak semua remaja yang berjerawat dapat mengalami gangguan konsep diri, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendidikan, pekerjaan, pengetahuan/ informasi yang didapat dari media seperti televisi, majalah yang diterima oleh setiap remaja.

Penyebab jerawat

Penyebab sebenarnya mengapa seseorang mempunyai jerawat dan yang lain tidak punya masih belum diketahui secara menyeluruh. Beberapa faktor yang menyebabkan jerawat ialah:
  • Stres
  • Keturunan dari orangtua
  • Aktivitas hormon : Salah satu faktor penting yang menyebabkan timbulnya jerawat adalah meningkatnya produksi hormon testosteron, yang dimiliki oleh tubuh pria maupun wanita. Hormon testosteron yang terdapat dalam tubuh pria maupun wanita memicu timbulnya jerawat dengan merangsang kelenjar minyak (sebaceous gland) untuk memproduksi minyak kulit (sebum) secara berlebihan.
  • Kelenjar minyak yang hiperaktif
  • Bakteri di pori-pori kulit
  • Iritasi kulit atau karena garukan
  • Anabolic steroid
  • Pil pengontrol kelahiran / pil KB, namun banyak wanita mengalami penurunan munculnya jerawat semasa pemakaian pil
  • Berada dalam lingkungan dengan kadar chlorine yang tinggi, terutama chlorinated dioxins, yang menyebabkan jerawat serius yang disebut Chloracne

Miskonsepsi jerawat

Dikarenakan pengetahuan medis tentang jerawat masih sedikit, banyak rumor salah beredar tentang penyebab jerawat:
  • Makanan. Coklat, snack, gula, susu dan seafood tidak menyebabkan jerawat. Penelitian medis hingga kini tidak menemukan perbedaan yang berarti antara timbulnya jerawat pada dua kelompok manusia, salah satu kelompok mengkonsumsi makanan di atas dan yang lain tidak. Tetapi, dalam buku The Acne Prescription, dermatologis radikal Nicholas Perricone menuturkan bahwa ini juga merupakan sebuah mitos, dan menyarankan diet khusus dengan menu ikan yang banyak dan sedikit gula.
  • Seks. Mitos umum menyatakan masturbasi dan tidak menikah dapat menyebabkan jerawat. Namun tidak ada bukti medis yang menguatkan pendapat ini.

Filariasis

Filariasis



Daur hidup Wuchereria bancrofti.
Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak selalu disebabkan oleh filariasis.
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda
(Crustacea).
Selain elefantiasis, bentuk serangan yang muncul adalah kebutaan Onchocerciasis akibat infeksi oleh Onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea. Filariasis ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, dengan 120 juta manusia terjangkit. WHO mencanangkan program dunia bebas filariasis pada tahun 2020.

anorexia nervosa

Anorexia nervosa adalah sebuah gangguan makan yang ditandai dengan sangat rendah berat badan distorsi citra tubuh dan ketakutan yang obsesif kenaikan berat badan.
Istilah anoreksia adalah berasal dari Yunani: a (α, prefix penyangkalan), n (ν, link antara dua vokal) dan orexis (ορεξις, nafsu makan), dengan demikian berarti kurangnya keinginan untuk makan.
Anorexia memiliki insiden antara 8 dan 13 kasus per 100.000 orang per tahun dan prevalensi rata-rata 0,3% dengan menggunakan kriteria yang ketat untuk diagnosis. Kondisi sangat mempengaruhi remaja muda perempuan, dengan perempuan antara 15 dan 19 tahun membuat hingga 40% dari semua kasus. Lebih jauh lagi, sebagian besar kasus tampaknya tidak akan berhubungan dengan pelayanan kesehatan mental. Sekitar 90% dari orang-orang dengan anoreksia adalah perempuan.

Definisi

DSM-IV-TR criteria are: DSM-IV-TR kriteria adalah:
  • Penolakan untuk mempertahankan berat badan pada atau di atas berat badan minimal yang normal untuk usia dan tinggi (misalnya penurunan berat badan menuju berat badan pemeliharaan kurang dari 85% dari yang diharapkan atau kegagalan untuk membuat berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan, menyebabkan berat badan kurang dari 85% dari yang diharapkan).
  • Intense fear of gaining weight or becoming fat, even though underweight. Intens takut kenaikan berat badan atau menjadi gemuk, meskipun berat badan.
  • Gangguan dalam cara di mana berat badan seseorang atau bentuk yang dialami, pengaruh yang tak pantas berat badan atau bentuk pada evaluasi diri, atau penolakan keseriusan saat ini berat badan rendah.

  • Amenore (setidaknya tiga siklus berturut-turut) di postmenarchal gadis dan perempuan.Amenore didefinisikan sebagai berikut periode hanya terjadi hormon (misalnya, estrogen) administrasi.

Lebih lanjut, DSM-IV-TR menetapkan dua subtipe:

  • Membatasi Type: selama episode saat ini anorexia nervosa, orang tidak secara rutin terlibat dalam pesta-makan atau membersihkan perilaku (yaitu, diri akibat muntah, atau penyalahgunaan pencahar, diuretik, atau enema). Weight loss is accomplished primarily through dieting, fasting, or excessive exercise. Berat badan dicapai terutama melalui diet, puasa, atau olahraga berlebihan.


  • Pesta-Makan Ketik atau Purging Type: selama episode saat ini anorexia nervosa, orang yang telah secara teratur terlibat dalam pesta-makan ATAU membersihkan perilaku (yaitu, diri akibat muntah, atau penyalahgunaan pencahar, diuretik, atau enema).

The ICD-10 kriteria yang sama, tetapi di samping itu, secara spesifik menyebutkan

  1. Cara bahwa individu mungkin menyebabkan penurunan berat badan atau menjaga berat badan rendah (menghindari makanan menggemukkan diri, akibat muntah-muntah, akibat membersihkan diri, olahraga berlebihan, penggunaan yang berlebihan menekan nafsu makan atau diuretik).


  2. Fitur fisiologis tertentu, termasuk "luas endokrin melibatkan gangguan hipotalamus - hipofisis - gonad sumbu nyata pada wanita sebagai amenorea dan pada pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual. Mungkin juga ada peningkatan kadar hormon pertumbuhan, mengangkat kortisol tingkat, perubahan dalam perifer metabolisme dari tiroid hormon dan kelainan sekresi insulin ".

  3. Jika permulaan adalah sebelum pubertas, bahwa pembangunan ditunda atau ditahan.
Perbedaan antara diagnosa anoreksia nervosa, bulimia nervosa dan gangguan makan tidak disebutkan secara spesifik (EDNOS) seringkali sulit untuk membuat dalam praktek dan ada banyak tumpang tindih antara pasien yang didiagnosis dengan kondisi ini. Selain itu, tampaknya perubahan kecil dalam keseluruhan pasien perilaku atau sikap dapat mengubah diagnosis dari "anoreksia: pesta-makan tipe" untuk bulimia nervosa.Sudah lazim bagi orang dengan gangguan makan untuk "bergerak melalui" berbagai diagnosa sebagai perilaku nya dan keyakinan berubah seiring waktu.

Penyebab dan sumbangan faktor

Faktor-faktor genetik

Keluarga dan kembar studi menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan rekening untuk 74% dan 26% dari varians dalam anorexia nervosa, masing-masing. Ini bukti menunjukkan bahwa gen yang mempengaruhi kedua makan peraturan, dan kepribadian dan emosi, mungkin penting faktor. Dalam sebuah studi, variasi dalam transporter norepinefrin gen promotor yang berhubungan dengan anorexia nervosa terbatas, tetapi tidak pesta-pembersihan anoreksia (meskipun yang terakhir mungkin karena ukuran sampel kecil).

neurobiologis faktor

Anorexia dapat dihubungkan dengan sistem serotonin terganggu, terutama untuk tingkat tinggi di daerah-daerah di otak dengan reseptor 5HT 1A - suatu sistem khususnya terkait dengan kecemasan, suasana hati dan pengendalian impuls. Kelaparan telah menjadi hipotesis respons terhadap efek-efek ini, seperti yang dikenal untuk menurunkan triptofan dan hormon steroid metabolisme, yang dapat mengurangi kadar serotonin pada situs-situs penting tersebut dan mengusir kecemasan. Studi lain dari reseptor serotonin 5HT 2A (terkait dengan peraturan makan, suasana hati, dan kecemasan), menunjukkan bahwa aktivitas serotonin menurun pada situs tersebut. Ada bukti bahwa kedua karakteristik kepribadian dan gangguan terhadap sistem serotonin masih jelas setelah pasien sudah pulih dari anoreksia.

Perubahan dalam struktur dan fungsi otak adalah tanda-tanda awal sering dikaitkan dengan kelaparan, dan sebagian terbalik bila berat badan normal kembali. Anorexia juga terhubung dengan mengurangi aliran darah di lobus temporal. Ada kemungkinan bahwa itu adalah sifat risiko daripada efek kelaparan.
Anorexia mungkin berkaitan dengan respons autoimmune melanocortin peptida yang mempengaruhi nafsu makan dan stres tanggapan.

Faktor Nutrisi

Seng kekurangan mungkin memainkan peran dalam Anorexia. Hal ini tidak berpikir bertanggung jawab atas penyebab penyakit awal tetapi ada bukti bahwa hal itu mungkin merupakan faktor yang mempercepat mendalami patologi dari anoreksia. A 1994 acak, double blind, placebo-controlled trial menunjukkan bahwa zinc (14 mg per hari) dua kali lipat tingkat massa tubuh meningkat dibandingkan pasien yang menerima plasebo.

Faktor-faktor psikologis

Perilaku makan anoreksia diperkirakan berasal dari ketakutan yang obsesif kenaikan berat badan akibat citra diri yang terdistorsi dan dikelola oleh berbagai bias kognitif yang mengubah cara individu yang terkena mengevaluasi dan berpikir tentang tubuh mereka, makanan dan makan. Ini bukanlah sebuah persepsi masalah, tapi salah satu informasi bagaimana persepsi dievaluasi oleh orang yang terkena. Orang-orang dengan anorexia nervosa tampaknya lebih akurat menilai gambar tubuh mereka sendiri, sementara kekurangan diri meningkatkan bias.
Orang dengan anoreksia nervosa psikologis lain juga memiliki kesulitan dan penyakit mental. Klinis depresi, obsesif kompulsif, penyalahgunaan zat dan satu atau lebih kepribadian kelainan mungkin kondisi yang paling mungkin untuk menjadi komorbiditas dengan anoreksia. Tinggi tingkat kecemasan dan depresi cenderung hadir tanpa memperhatikan apakah mereka memenuhi kriteria diagnostik sindrom tertentu.
Penelitian ke dalam neuropsikologi dari anoreksia telah mengindikasikan bahwa banyak temuan yang tidak konsisten di seluruh penelitian dan bahwa sulit untuk membedakan dampak kelaparan pada otak dari setiap karakteristik lama. Salah satu temuan adalah bahwa mereka yang anoreksia memiliki fleksibilitas kognitif miskin.
Studi lain menyarankan bahwa ada beberapa perhatian dan memori bisa yang mungkin mempertahankan anoreksia.

Sosial dan faktor lingkungan

Sosiokultural penelitian telah menyoroti peranan faktor-faktor budaya, seperti promosi ketipisan sebagai bentuk perempuan yang ideal di negara-negara industri Barat, khususnya melalui media massa. Sebuah studi epidemiologi 989.871 penduduk Swedia menunjukkan bahwa jender, etnisitas dan sosial -status ekonomi pengaruh yang besar pada pengembangan kesempatan anoreksia, dengan mereka yang non-Eropa paling tua di antara mungkin didiagnosis dengan kondisi, dan mereka yang kaya, keluarga putih yang paling beresiko. Orang-orang di profesi di mana tertentu ada tekanan sosial untuk menjadi kurus (seperti model dan penari) adalah jauh lebih mungkin untuk mengembangkan anorexia selama karir mereka, dan penelitian lebih jauh menyatakan bahwa mereka yang jauh lebih tinggi anoreksia memiliki kontak dengan sumber-sumber budaya yang mempromosikan berat badan-badan

Ada tingkat tinggi melaporkan pelecehan seksual anak pengalaman dalam kelompok klinis yang telah didiagnosis dengan anoreksia. Meskipun pelecehan seksual sebelumnya tidak dianggap sebagai faktor risiko spesifik untuk anoreksia, mereka yang telah mengalami pelecehan semacam itu lebih cenderung memiliki lebih serius dan kronis gejala-gejala.

Hubungan dengan autisme



Ringkasan strategi Zucker et al. (2007) digunakan untuk menilai hubungan antara anorexia nervosa dan spektrum autisme. 
Sejak Gillberg's (1985) dan lain-lain saran awal hubungan antara anorexia nervosa dan autisme,  dalam skala besar studi longitudinal ke anorexia nervosa remaja awal yang dilakukan di Swedia menegaskan bahwa 23% orang dengan lama gangguan makan yang pada spektrum autisme. Mereka yang berada di spektrum autisme cenderung memiliki hasil yang lebih buruk, tetapi dapat memperoleh manfaat dari penggunaan gabungan dari perilaku dan terapi farmakologis autisme dirancang untuk memperbaiki, bukan anorexia nervosa per se. Studi-studi lain, terutama penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Maudsley Inggris, lebih jauh lagi menyatakan bahwa ciri-ciri autistik sering terjadi pada orang dengan anoreksia nervosa, berbagi ciri-ciri termasuk misalnya fungsi eksekutif, skor kecerdasan autisme, pusat koherensi, teori pikiran, fleksibilitas kognitif-perilaku, emosi pemahaman peraturan dan ekspresi wajah.

Zucker et al. (2007) mengusulkan bahwa kondisi pada spektrum autisme membentuk endophenotype kognitif yang mendasari anorexia nervosa dan meminta untuk meningkatkan kerjasama lintas disiplin (lihat gambar ke kanan). Seorang pilot studi ke efektivitas Terapi Perilaku Kognitif, yang didasarkan perlakuan protokol pada hipotesis hubungan antara anorexia nervosa dan mendasar seperti kondisi autistik, mengurangi perfeksionisme dan kekakuan dalam 17 keluar dari 19 peserta.

Prognosis

Anoreksia diperkirakan memiliki angka kematian tertinggi dari semua gangguan jiwa, dengan mana saja 6-20% dari mereka yang didiagnosis dengan gangguan akhirnya mati karena penyebab yang terkait. tingkat bunuh diri orang-orang dengan anoreksia juga lebih tinggi dari itu dari populasi umum. Dalam sebuah studi longitudinal wanita didiagnosis dengan DSM-IV baik anorexia nervosa (n = 136) atau bulimia nervosa (n = 110) masing-masing yang dinilai setiap 6 - 12 bulan selama 8 tahun berada di cukup risiko bunuh diri. Dokter diperingatkan risiko sebagai 15% subyek melaporkan setidaknya satu usaha bunuh diri. Telah dicatat bahwa secara signifikan lebih aneroxia (22,1%) dibandingkan bulimia (10,9%) subyek membuat usaha bunuh diri.

Perawatan

Perawatan untuk anorexia nervosa mencoba untuk mengatasi tiga bidang utama. 1) Restoring the person to a healthy weight; 2) Treating the psychological disorders related to the illness; 3) Reducing or eliminating behaviours or thoughts that originally led to the disordered eating. 1) Memulihkan orang berat badan yang sehat; 2) Memperlakukan gangguan psikologis terkait dengan penyakit; 3) Mengurangi atau menghapuskan perilaku atau pemikiran yang awalnya mengarah ke makan tidak teratur.
Obat perawatan, seperti SSRI atau antidepresan obat-obatan, belum ditemukan secara umum juga efektif untuk mengobati anoreksia, atau mencegah kekambuhan meskipun juga telah mencatat bahwa ada kekurangan penelitian di bidang ini .

Perawatan berbasis keluarga juga telah ditemukan pengobatan yang efektif untuk remaja dengan anoreksia jangka pendek. Pada tahun 4-5 menindaklanjuti satu studi menunjukkan tingkat pemulihan penuh dari 60 - 90% dengan 10-15% sisanya sakit parah. Ini menguntungkan dibandingkan pengobatan lain seperti rawat inap di mana tingkat pemulihan penuh bervariasi antara 33-55%.

Obesitas

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan.
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas.
Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas.
Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:
  • Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
  • Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
  • Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan sebanyak 5% dari antara orang-orang yang gemuk).
Perhatian tidak hanya ditujukan kepada jumlah lemak yang ditimbun, tetapi juga kepada lokasi penimbunan lemak tubuh. Pola penyebaran lemak tubuh pada pria dan wanita cenderung berbeda. Wanita cenderung menimbun lemaknya di pinggul dan bokong, sehingga memberikan gambaran seperti buah pir. Sedangkan pada pria biasanya lemak menimbun di sekitar perut, sehingga memberikan gambaran seperti buah apel. Tetapi hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang mutlak, kadang pada beberapa pria tampak seperti buah pir dan beberapa wanita tampak seperti buah apel, terutama setelah masa menopause.
Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan lebih mudah mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas. Mereka memiliki risiko yang lebih tinggi. Gambaran buah pir lebih baik dibandingkan dengan gambaran buah apel.
Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara untuk menentukan apakah seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti buah pir, yaitu dengan menghitung rasio pinggang dengan pinggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan pinggul diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran pinggul. Seorang wanita dengan ukuran pinggang 87,5 cm dan ukuran pinggul 115 cm, memiliki rasio pinggang-pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 0,8 atau pria dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk apel.

Penyebab Obesitas

Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas.
Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor:
  • Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang.
  • Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya.
  • Faktor psikis. Apa yang ada di dalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan.
Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial.
Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.
  • Faktor kesehatan. Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:
    • Hipotiroidisme
    • Sindroma Cushing
    • Sindroma Prader-Willi
    • Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.
  • Obat-obatan.
Obat-obat tertentu (misalnya streroid dan beberapa anti-depresi) bisa menyebabkan penambahan berat badan.
  • Faktor perkembangan. Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.
  • Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas.

Gejala obesitas

Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk.
Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.

Komplikasi

Obesitas bukan hanya tidak enak dipandang mata tetapi merupakan dilema kesehatan yang mengerikan. Obesitas secara langsung berbahaya bagi kesehatan seseorang. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya sejumlah penyakit menahun seperti:

Diagnosa

Mengukur lemak tubuh

Tidak mudah untuk mengukur lemak tubuh seseorang. Cara-cara berikut memerlukan peralatan khusus dan dilakukan oleh tenaga terlatih:
  • Underwater weight, pengukuran berat badan dilakukan di dalam air dan kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang tersisa.
  • BOD POD merupakan ruang berbentuk telur yang telah dikomputerisasi. Setelah seseorang memasuki BOD POD, jumlah udara yang tersisa digunakan untuk mengukur lemak tubuh.
  • DEXA (dual energy X-ray absorptiometry), menyerupai skening tulang. Sinar X digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari lemak tubuh.
Dua cara berikut lebih sederhana dan tidak rumit:
  • Jangka kulit, ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur dengan jangka (suatu alat terbuat dari logam yang menyerupai forseps).
  • Bioelectric impedance analysis (analisa tahanan bioelektrik), penderita berdiri diatas skala khusus dan sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya dialirkan ke seluruh tubuh lalu dianalisa.
Pemeriksaan tersebut bisa memberikan hasil yang tidak tepat jika tidak dilakukan oleh tenaga ahli.

Tabel berat badan-tinggi badan

ini telah digunakan sejak lama untuk menentukan apakah seseorang mengalami kelebihan berat badan. Tabel biasanya memiliki suatu kisaran berat badan untuk tinggi badan tertentu.
Permasalahan yang timbul adalah bahwa kita tidak tahu mana tabel yang terbaik yang harus digunakan. Banyak tabel yang bisa digunakan, dengan berbagai kisaran berat badan yang berbeda. Beberapa tabel menyertakan ukuran kerangka, umur dan jenis kelamin, tabel yang lainnya tidak.
Kekurangan dari tabel ini adalah tabel tidak membedakan antara kelebihan lemak dan kelebihan otot. Dilihat dari tabel, seseorang yang sangat berotot bisa tampak gemuk, padahal sesungguhnya tidak.

Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index, BMI)

BMI merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan "indeks", BMI sebenarnya adalah rasio atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki nilai BMI sebesar 30 atau lebih.
Jika nilai BMI sudah didapat, hasilnya dibandingkan dengan ketentuan berikut  :
Nilai BMI      < 18,5 = Berat badan di bawah normal
   Nilai BMI 18,5 - 22,9 = Normal
   Nilai BMI 23,0 - 24,9 = Normal Tinggi
   Nilai BMI 25,0 - 29,9 = di atas normal
   Nilai BMI     >= 30,0 = Obesitas

Pengobatan

Pembatasan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen yang paling penting dalam pengaturan berat badan. Kedua komponen ini juga penting dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi penurunan berat badan. Harus dilakukan perubahan dalam pola aktivitas fisik dan mulai menjalani kebiasaan makan yang sehat.
Langkah awal dalam mengobati obesitas adalah menaksir lemak tubuh penderita dan risiko kesehatannya dengan cara menghitung BMI. Resiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya angka BMI :
  • Resiko rendah : BMI < 27
  • Resiko menengah : BMI 27-30
  • Resiko tinggi : BMI 30-35
  • Resiko sangat tinggi : BMI 35-40
  • Resiko sangat sangat tinggi : BMI 40 atau lebih.
Jenis dan beratnya latihan, serta jumlah pembatasan kalori pada setiap penderita berbeda-beda dan obat yang diberikan disesuaikan dengan keadaan penderita.
  • Penderita dengan risiko kesehatan rendah, menjalani diet sedang (1200-1500 kalori/hari untuk wanita, 1400-2000 kalori/hari untuk pria) disertai dengan olah raga
  • Penderita dengan risiko kesehatan menengah, menjalani diet rendah kalori (800-1200 kalori/hari untuk wanita, 1000-1400 kalori/hari untuk pria) disertai olah raga
  • Penderita dengan risiko kesehatan tinggi atau sangat tinggi, mendapatkan obat anti-obesitas disertai diet rendah kalori dan olah raga.
Memilih program penurunan berat badan yang aman dan berhasil. Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam memilih suatu program penurunan berat badan :
  • Diet harus aman dan memenuhi semua kebutuhan harian yang dianjurkan (vitamin, mineral dan protein). Diet untuk menurunkan berat badan harus rendah kalori.
  • Program penurunan berat badan harus diarahkan kepada penurunan berat badan secara perlahan dan stabil.
  • Sebelum sebuah program penurunan berat badan dimulai, dilakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh.
  • Program yang diikuti harus meliputi pemeliharaan berat badan setelah penurunan berat badan tercapai. Pemeliharaan berat badan merupakan bagian tersulit dari pengendalian berat badan. Program yang dipilih harus meliputi perubahan kebiasaan makan dan aktivitas fisik yang permanen, untuk merubah gaya hidup yang pada masa lalu menyokong terjadinya penambahan berat badan. Program ini harus menyelenggarakan perubahan perilaku, termasuk pendidikan dalam kebiasaan makan yang sehat dan rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah berat badan.
Obesitas merupakan suatu keadaan menahun (kronis). Obesitas seringkali dianggap suatu keadaan sementara yang bisa diatasi selama beberapa bulan dengan menjalani diet yang ketat. Pengendalian berat badan merupakan suatu usaha jangka panjang. Agar aman dan efektif, setiap program penurunan berat badan harus ditujukan untuk pendekatan jangka panjang.

Fobia

Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoa atau tikus. Sementara dibayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.

Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrim seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari jenis jenis hambatan sukses lainnya.
Beberapa istilah sehubungan dengan fobia :
  • afrophobia — ketakutan akan orang Afrika atau budaya Afrika.
  • agoraphobia - takut pada lapangan
  • antlophobia — takut akan banjir.
  • bibliophobia - takut pada buku
  • caucasophobia — ketakutan akan orang dari ras kaukasus
  • cenophobia — takut akan ruangan yang kosong.
  • dendrophobia - takut pada pohon
  • ecclesophobia - takut pada gereja
  • felinophobia - takut akan kucing
  • genuphobia - takut akan lutut
  • hydrophobia — ketakutan akan air.
  • hyperphobia - takut akan ketinggian
  • iatrophobia - takut akan dokter
  • japanophobia - ketakutan akan orang jepang
  • lyghopobia - ketakutan akan kegelapan
  • necrophobia - takut akan kematian
  • panophobia - takut akan segalanya
  • photophobia — ketakutan akan cahaya.
  • rhanidaphobia - takut pada katak
  • schlionophobia - takut pada sekolah
  • uranophobia - ketakutan akan surga
  • venustraphobia - takut pada perempuan yang cantik
  • xanthophobia - ketakutan pada warna kuning

Autisme

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karateristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
  • interaksi sosial,
  • komunikasi (bahasa dan bicara), 
  • perilaku emosi
  • pola bermain
  • gangguan sensorik dan motorik
  • perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Data Statistical Manual R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
  1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
  2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
  4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):
  1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
  2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
  3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
  4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
  1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
  2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
  3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
  4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
  1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
  2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
  3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
  • Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
  • The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
  • The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
  • The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebagainya.

Gejala

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi
sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
  1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
  2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
  3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
  4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
  5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
  1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
  2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
  3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
  4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
  5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frommbone: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
  • Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
  • Chromosome 7 – speech / language chromosome
  • Variety of problem in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model, psikodinamika menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovass, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
  • Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
  • Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
  • Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
  • Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
  • 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
  • 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
  • 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
  • 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
  • 2000s Litigation, school-based services

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
  1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
  2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
  3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
  4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
  5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
  • Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
  • Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime
  • TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
  • Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
  • Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
  • Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
  • Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
  • Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

-PutrieMuttz- Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino